Generasi Cemerlang itu Berasal Dari Sebuah Keluarga
Banyak
orang tua yang keliru dalam memahami pendidikan anak adalah tanggung jawab guru
di sekolah. Itulah mengapa ketika anak-anak memasuki usia sekolah, seakan-akan tanggung jawab mereka dalam hal pengajaran dan
mendidik sudah beralih tangan kepada pihak sekolah. Pada akhirnya keberhasilan
dan kegagalan seorang anak juga seakan-akan menjadi tanggung jawab guru di
sekolah. Pada kenyataannya sekarang, pendidikan di sekolah sampai saat ini
masih menjadi uji coba dengan kurikulum yang sering bergunta ganti. Kurikulum
sekolah yang masih mengutamakan aspek
kognitif sebagai capaian keberhasilannya. Sehingga, tidaklah heran banyak siswa
yang menempuh berbagai macam cara untuk meraih nilai yang tinggi.
Kejujuran
sudah menjadi barang yang langka dikalangan siswa siswi saat ini karena memang
pendidikan akhlak tidak menjadi prioritas dalam pencapaiannya. Pendidikan yang
seperti ini sejatinya melahirkan generasi yang rusak. Pendidikan sekolah yang
lebih dominan pada aspek kognitif, menjadikan para orang tua sibuk mengirimkan
anak-anak mereka ke lembaga-lembaga bimbingan belajar profesional diluar
sekolah atau memanggil guru les privat ke rumah. Mereka bangga ketika anak nya
meraih nilai atau prestasi yang tinggi. Keberhasilan pendidikan sekolah hanya dinilai dari prestasi diatas kertas saja.
Tak heran kalau saat ini bangsa indonesia mengalami krisis pemimpin yang jujur
dan amanah. Masihkah mengandalkan pendidikan sekolah sebagai satu satunya
pendidikan?
Sejatinya
pendidikan yang utama dan pertama adalah pendidikan keluarga, dengan guru utama
ayah dan ibu. Belajar dari orang tua dan keluarga pilihan Allah yaitu generasi
para nabi, pendidikan keluarga seharusnya sudah terprogram jauh sebelum anak
itu lahir yaitu dengan berdo’a dengan sungguh-sungguh. Seperti kisah permintaan
Nabi Ibrahim As yang menghasilkan Nabi Ismail As, Ishaq As, dan Nabi-Nabi lainnya
hingga Nabi Musa As dan Isa As yang terdapat dalam Q.S AS-SAFFAT (100): Ya Tuhanku,
anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang saleh. Kemudian
Allah jawab dalam ayat berikutnya Q.S AS-SAFFAT (101): Maka kami beri kabar
gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (ismail). MasyaAllah
sungguh do’a Nabi Ibrahim adalah do’a yang visioner yang menembus ruang, waktu
dan zaman. Milikilah do’a yang visioner untuk calon anak-anak kita kelak karena
Do’a adalah senjata orang mukmin.
Keluarga
layaknya sebuah sekolah, sekolah peradaban yang mampu menghasilkan anggota
keluarga yang beradab. Dalam sebuah sekolah, penyusunan visi misi serta
kurikulum pendidikan keluarga sangat penting untuk dilakukan. Termasuk pula
didalamnya terdapat pembagian peran, tugas dan tanggung jawab. Pembagian peran
dalam sebuah keluarga yaitu ayah sebagai kepala sekolah, ibu sebagai guru dan
anak-anak sebagai murid. Ayah yang merumuskan kurikulum dan mengawasi
keberjalanan pelaksanaannya sedangkan ibu sebagai pelaksana teknis yang setiap
harinya berhadapan langsung dengan murid.
Kurikulum pendidikan keluarga yang
disusun harus mengantarkan anak-anak menemukan Hakikat Belajar yang
sesungguhnya. Hakikat belajar dimana dengan bertambahnya kapasitas intelektual,
semakin anak-anak mengenal kebesaran Allah, semakin merasa kerdil sehingga
kecintaan terhadap Allah bertambah dan munculah ketundukan dan kekhusukan dalam
beribadah. Hakikat belajar, dengan bertambahnya sebuah ilmu semakin membuat
anak-anak peka terhadap sebuah masalah. Menjadikan anak-anak memiliki
kecerdasan sosial yang tinggi sehingga kepekaan ini menjadi bekal bagi anak
untuk mengambil peran kekhalifahan dalam kehidupan. Pembelajaran yang menjadi
tambahan informasi yang pada akhirnya akan berbuah keluhuran moral sebagai
bekal kehidupan yang menjadikan anak-anak hidup bermartabat dalam sebuah
peradaban dan semangat membangun peradaban yang bersendikan nilai-nilai
ketuhanan dan kemanusiaan.
Kurikulum
keluarga yang seperti apakah yang dapat digunakan untuk mencapai Hakikat
Belajar seperti yang telah disampaikan diatas ? Sekilas mencoba berkaca dari
generasi para sahabat Rasulullah Muhammad SAW. Kita lihat Sosok Zaid bin tsabit
yang ketika usia 13 th, ia mampu menulis wahyu, dalam waktu 17 malam ia mampu
menguasai bahasa suryani sehingga menjadi penerjemah Rasulullah Muhammad SAW.
Zaid hafal kitabullah dan ikut serta dalam kodifikasi al qur’an. Usamah bin
zaid, pada usia 18 th memimpin pasukan yang anggotanya adalah para pembesar
sahabat seperti abu bakar dan umar. Muhammad al fatih, usia 22 th mampu
menaklukkkan konstatinopel ibukota byzantium. Bagaimana dengan kondisi
anak-anak kita pada usia 13 th, 18 th dan 22 th ? Dapatkah generasi terbaik
tersebut terulang kembali dimasa sekarang ? Semoga kita bisa mengambil
pelajaran, pelajaran dalam membentuk generasi terbaik lewat kurikulum keluarga.
Secara
singkat ada beberapa aspek pendidikan yang harus dimasukan dalam kurikulum
pendidikan keluarga. Pertama, pendidikan agama menjadi pondasi awal yang harus
diajarkan. Pendidikan agama dimulai dengan mengajari anak konsep agama dan character building. Hal terpenting yang
harus dilakukan oleh orang tua dengan ilmu agama ini adalah menjaga fitrah anak
supaya selalu berada pada fitrah penciptaannya yang suci, seperti mengajari
anak terkait akhlak berinteraksi dengan lawan jenis, memahamkan anak untuk
menjauhi diri dari zina mata, tangan dan kaki, dll. Dengan ilmu agama ini anak
dididik untuk memiliki daya imunitas yang tinggi sehingga ketika anak
berinteraksi dengan dunia luar, anak tidak terpengaruh. Pendidikan tentang aqidah,
ibadah, akhlak mulai dilakukan sedari kecil. Selain itu sedari kecil anak mulai
ditanamkan kecintaan terhadap Allah, Rasulullah, Kitab suci Al Qur’an serta
berjuang dijalanNya. Salah satu hal yang dilakukan adalah dengan membiasakan
diri menghafal qur’an dan membacanya setiap hari. Pendidikan agama menjadi
prioritas utama yang harus menjadi perhatian orang tua karena agama menjadi
pijakan yang akan mewarnai perjalanan hidup dan membingkai pendidikan yang
lainnya.
Kedua,
pendidikan kreatifitas yang bertujuab untuk membekali anak dengan keterampilan.
Manusia yang survive dimasa yang akan
datang adalah manusia yang kreatif, inovatif dalam membuat terobosan-terobosan
yang baru dan solutif terhadap permasalahan yang ada. Dengan kreatifitas inilah
semoga banyak kemanfaatan yang akan diberikan. Pendidikan kreatifitas dilakukan
dengan mengajarkan berbagai macam hal kepada anak. Mengajarkan ketrampilan
membaca, menulis, crafting, melihat
video edukasi, melakukan kunjungan belajar, dll. Setelah orang tua mengajarkan
banyak hal kepada anak, saatnya orang tua melihat dan mengamati bakat anak
kemudian mengembangkannya. Mengembangkannya dengan memperdalam passion yang dimiliki anak dengan berguru
kepada ahlinya, magang, tour kebeberapa
tempat. Memperdalam passion juga
dapat dilakukan dengan memberikan tugas kepada anak berupa science/ art project atau craft
project yang dapat bermanfaat bagi banyak orang. Sampai akhirnya anak
menjadi expert dalam bidang tertentu
dan kelak ini menjadi bekal bagi anak untuk menjalankan peran kekhalifahan. Pendidikan
minat/ bakat ini penting untuk dilakukan, karena fenomena saat ini banyak anak
yang merasa bingung dan galau ketika menginjak usia baligh atau sampai selesai
jenjang pendidikan tinggi mau membawa hidup mereka kemana. Secara biologis
mereka sudah baligh tetapi secara mental mereka masih menjadi generasi yang
bingungan, tidak mandiri dan masih bergantung dengan orang tua. Tugas orang tua
yang tidak kalah penting lagi adalah menyiapkan anaknya sebelum aqil baligh.
Ketiga,
pendidikan sosial untuk melatih anak untuk peka dengan lingkungan sekitar.
Pendidikan ini bisa dilakukan dengan mengajak anak melihat langsung
problematika sosial dimasyarakat misalnya berkunjung ke panti asuhan, anak
jalanan, pemukiman yang tidak layak. Keempat, mendidik anak untuk disiplin, mandiri
dan bertanggungjawab. Pendidikan disiplin bisa dilakukan dengan memberikan
teladan dan penerapan aturan yang telah disepakati bersama disertai reward serta punishmentnya. Selanjutnya untuk mendidik anak supaya mandiri dan
tanggung jawab, bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan dan kepercayaan
pada anak untuk melakukan sesuatu secara mandiri, misalnya sejak kecil
mengizinkan anak untuk makan sendiri, mandi sendiri, membereskan mainan sendiri,
dll. Ketika anak sudah besar bisa mengajari anak berdagang, misalnya orang
tuanya yang membuat/ menyediakan makanan kemudian anak yang menjualnya. Terahir,
membangun iklim keterbukaan dalam sebuah keluarga. Keluarga tempat bertanya,
keluarga tempat berbagi yang pertama dan utama. Sampaikan apa yang menjadi
harapan dan keinginan orang tua serta apa yang menjadi harapan dan keinginan
anak. Semoga akan lahir generasi cemerlang dari pendidikan keluarga yang
visioner. Aamiin Yaa Rabbal’alamiin. Allahu’alam Bishowab.
menginspirasi
ReplyDelete