Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Melihat Wacana Full Day School dari Dua Kacamata yang Berbeda

sumber: kompasiana
Assalamu’alaikum..

November, salam perjuangan sobat! Kayanya kata “perjuangan” pas kalau saya labelkan dibulan ini. Kenapa? karena banyak sejarah perjuangan yang ditorehkan dibulan ini. November adalah harinya para pahlawan, para pejuang bangsa. Selamat Hari Pahlawan sob! Semoga kita semua bisa mengambil “spirit perjuangan” dari para pahlawan bangsa kita ya sob. November juga merupakan bulan sejarah bagi kami. Yaps November adalah bulan dimana saya dan mas suami diikat dalam ikatan suci pernikahan *ea..Dan yang tak kalah penting, Bulan November adalah harinya para guru loh sob. Tepat tanggal (25/11), diperingati sebagai Hari Guru Nasional (HGN) sekaligus HUT ke-71 PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Selamat hari guru bapak, ibuku tercinta dan seluruh guru yang ada di negeri tercinta ini. Kalian adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Jasamu Tiada Tara.

Mumpung momentumnya pas, kali ini saya mau mencoba beropini tentang dunia pendidikan. Walau diri ini tidak berprofesi sebagai guru, tak ada salahnya orang sipil seperti saya, memiliki pandangan dan masukan dalam dunia pendidikan ini. Saya tergelitik mendengar wacana Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Pak Muhadjir Effendy mengenai Full Day School, beberapa bulan yang lalu. Walau wacana ini sudah tidak viral lagi dan sudah cukup lama digongkan, semoga masih pas untuk kita bahas yaa. Mumpung masih dalam tahap pengkajian. 


Wacana Full Day School ini mendulang pro kontra, dari segenap warga masyarakat Indonesia. Menurut saya, pro kontra ini menjadi hal yang wajar bagi kita yang hidup dalam negara demokrasi. Asal bersumber dari niatan baik dan tetap memperhatikan etika dalam penyampaiannya. Menurut saya, hal pertama yang harus dikedepankan saat wacana ini muncul adalah Positive Thinking. Selanjutnya mari kita mengkaji lebih dalam, ketika ada masukan sampaikan secara bijak. Salahsatu caranya lewat media tulis seperti ini. 

Pandangan dari Pihak yang Pro Full Day School

Ada kekhawatiran memang, saat melihat kesibukan orang tua masa kini. Dimana orang tua baik bapa maupun ibu bekerja di luar rumah full day, dari pagi hingga sore bahkan sampai malam hari. Waktu buat anak? terbatas. Pengawasan terhadap anak? kurang. Ini terjadi terutama diperkotaan. Apalagi diera sekarang, jaman semakin rusak, pergaulan semakin nggak karu-karuan, kejahatan ada dimana-mana. 

Ada kekhawatiran dari orang tua terhadap kondisi ini, bagi kehidupan anak-anaknya. Maka wacana Full Day School (FDS) diharapkan dapat menjawab kekhawatiran beberapa orang tua dengan waktu mereka yang terbatas. Harapannya dengan waktu belajar yang full di sekolah, anak-anak berada dalam pengawasan guru dengan berbagai aktivitas positifnya. Orang tua jadi tenang. Coba bayangkan ketika anak pulang sekolah, terus langsung main entah kemana, sama siapa dan melakukan apa saja diluar sana tanpa pengawasan. 
Pilih yang Mana Sob?
Full Day School itu apa?
Full Day School merupakan sistem pendidikan sehari penuh, dengan menambah jam belajar untuk pendalaman materi. Selain itu juga ada aktivitas pengembangan diri dan kreativitas anak. Setiap lembaga pendidikan bebas mengatur jalannya sistem ini, asal tetap mengacu pada standar nasional. Kemudian lokasi waktu harus sesuai standar minimal dan sesuai bobot mata pelajaran (Kuswandi, 2013). 

Sebenarnya konsep Full Day School ini, sudah ada sejak tahun 1990 dan telah diterapkan pada beberapa sekolah terpadu swasta, termasuk yang beridentitas islam. Kemarin saya sempat berdiskusi dengan seorang teman, beliau pernah berprofesi sebagai guru di Sekolah Swasta. Beliau bercerita, kalau di sekolah swasta tersebut, anak-anak SD kelas 4-6 masuk sekolah mulai pukul 07.30 dan pulang setelah Sholat Ashar. Kegiatan yang dilakukan sesuai dengan kurikulum yang telah dibuat. Sekolah swasta islami ini memiliki kurikulum tersendiri, tentunya setelah disesuaikan dengan kurikulum dari diknas. Pagi sampai dzuhur dilakukan pembelajaran seperti biasa oleh guru kelas, sedangkan ba’da dzuhur diisi materi pengembangan diri oleh guru lain sesuai kompetensinya masing-masing. Kegiatannya berupa belajar bahasa arab,  seni rupa, kelas memasak, science and technology, dll.
 
Sebenarnya, pendidikan terpadu ini berupaya memadukan dan mensinergikan IPTEK, Agama dan Etik dalam satu kesatuan. Konsep pendidikan terpadu ini pernah disampaikan oleh Presiden Soekarno dalam catatannya Di Bawah Bendera Revolusi:Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, sebaiknya juga mengajarkan pengetahuan umum” (Kuswandi, 2013). Alhamdulillah mimpi Presiden Soekarno ini sekarang sudah tercapai. Sudah banyak pesantren dalam sistem pembelajarannya, menerapkan sistem pendidikan yang memadukan Ilmu Agama dan IPTEK. Sebutlah Pesantren Modern (Boarding School) Darussalam Gontor, Assalam Solo, Al Mu'min (Ngruki) Solo, Ihsanul Fikri Magelang, Husnul Khotimah Kuningan, Nuris Salatiga, Al Kahfi bogor, dll semuanya sudah memadukan IPTEK dan Agama dalam sistem pembelajarannya. 

Dulu saat kuliah, saya punya beberapa teman lulusan pesantren. Mereka ada yang  mengambil fakultas kedokteran, teknik, isip, mipa, ekonomi, dll. Bagi saya mereka itu bisa disebut multitalenta. Hafalannya banyak, bisa berbahasa inggris maupun arab secara aktif, ilmu umum juga tidak kalah pinter. Terkadang disitu saya merasa menyesal, kenapa dulu tidak masuk pesantren?:( Bayangan saya saat SMA, pesantren itu biasanya tempatnya orang-orang bandel, guru-gurunya saklek, yang dipelajari hanya ilmu agama, aktivitasnya segudang, bingung setelah lulus mau kemana. Ternyata semua prasangka saya, salah sobat. Nah, sekolah negeri kalau mau menerapkan konsep Full Day School, bisa mengambil beberapa contoh kegiatan dari konsep pesantren ini.

Tujuan  Full Day School ?
Sebenarnya tujuan dari Full Day School ini adalah untuk membentuk karakter siswa. Pada tingkat Sekolah Dasar (SD), nantinya akan diterapkan 80% pendidikan karakter, 20% pengetahuan umum. Tingkat SMP, 60% pendidikan karakter, 40% pengetahuan umum. Pemerintah merencanakan konsep ini akan diterapkan tahun 2017-2018 dengan menggunakan model percontohan terlebih dahulu. Ada 500 sekolah yang akan dilibatkan dalam uji coba (Chamidah, 2016). Jadi jangan khawatir yaa sob, ini masih dalam tahap pengkajian dan uji coba pemerintah. Jika nanti setelah diuji ternyata banyak kelemahan, maka konsep ini tidak akan diterapkan.  

Anak-anak usia SD dan SMP adalah masa-masanya mencari jati diri, masa-masa pembentukkan kepribadian diri, harapannya dengan porsi pendidikan karakter yang lebih banyak, akan menghasilkan anak-anak yang tak hanya cerdas secara kognitif tetapi juga cerdas secara afektif (sikap) dan psikomotorik (skill).

Pandangan dari Pihak yang Kontra Full Day School

Saat wacana Full Day School dikumandangkan, ada juga yang merespon tak sepakat. Salah satunya datang dari keponakan saya yang masih duduk dibangku SMA. “aduh..sekarang saja sekolah udah full dari pagi sampai menjelang petang, masa mau ditambah jam tambahan lagi?”, ungkapnya. 

Ada juga kekhawatiran dan ketakutan dari beberapa orang tua, “wah, kasian nanti anak saya seharian disekolah, kapan waktu dia bermain? Kapan anak saya menikmati dunianya?”. Jujur saya pun saat itu jadi ikut-ikutan khawatir, walau anak saya saat ini masih bayi he..he. Menurut saya si wajar, kalau ada pemikiran seperti ini. Apalagi bagi orang tua yang mempunyai waktu lebih untuk menemani dan mengawasi kegiatan anak-anaknya pasca pulang sekolah. Mungkin mereka mempunyai rencana tersendiri bagi anak-anaknya. 
sumber: Blio.net
Seperti saya dulu, sewaktu SD, selepas pulang sekolah saya disuruh bapa ibu mengikuti sekolah madrasah. Sekolah madrasah ini bertujuan untuk memperdalam ilmu agama. Sewaktu SMP, sepulang sekolah saya ikut ekstrakulikuler seperti drum band, pramuka. Semua ini atas keinginan pribadi bukan diwajibkan dari pihak sekolah. Atau kadang sepulang sekolah, saya langsung istirahat. 

Melihat fenomena orang tua saat ini, seiring dengan tuntutan materi sekolah yang semakin susah menurut saya, biasanya orang tua menyuruh anak-anaknya untuk mengikuti les berbagai mata pelajaran. Saya pernah ngajar les anak SD, saya kaget materi anak SD ko seperti materi SMP jaman saya dulu. Pernah juga gantiin temen ngajar les anak SMP kelas 3, matematika lagi, saya dibuat pusing tujuh keliling kala itu. Jaman dulu, saya pertama kali ikut les di luar sekolah pas sudah SMA. Itupun karena mau UAN. Tapi jaman sekarang, anak SD aja sudah banyak yang les, yaa..jaman memang sudah jauh berubah. 

Selain itu, ada juga orang tua yang sangat memperhatikan bakat anaknya. Pasca sekolah biasanya mereka diikutkan berbagai les untuk mengembangkan bakat yang dimiliki anaknya. Mulai dari lles musik, les menulis, desain grafis, komik dll. Jadi menurut saya, beberapa orang tua yang kontra dengan Full Day School adalah mereka yang sudah memiliki desain khusus untuk kegiatan anak-anaknya pasca pulang sekolah.

Wacana Baru " Hari Libur Sekolah Nasional"

Apalagi sekarang muncul wacana baru, kalau hari sabtu akan diresmikan menjadi hari libur sekolah nasional. Jadi dalam satu pekan, hari aktifnya senin-jum’at, sabtu dan minggu libur. Wah.. kaya anak kuliahan ya. Walau pada dasarnya pemerintah, khususnya Kemendikbud memiliki niatan yang baik dengan wacana ini. Waktu libur yang cukup lama, memberi peluang bagi anak untuk berkumpul dan bercengkrama bersama keluarga lebih banyak. Begitupun dengan gurunya, mereka juga punya waktu lebih untuk bisa bersama keluarganya. Tetapi yang harus dipikirkan kedepan, apakah orang tua si anak juga libur? Selain itu, secara otomatis jam belajar juga akan semakin padat karena hanya 5 hari aktif. Terus jika diberlakukan Full Day School, materi pendidikan karakternya akan disisipkan dimana, kalau jam belajarnya sudah padat seperti ini? Semoga hal ini bisa dipertimbangkan lebih matang lagi.

Mencari Benang Merah atas Pro Kontra Full Day School

Subhanallah yaa, kalau menjadi Pemerintah, kebijakan yang diambil harus benar-benar bisa adil, tepat dan bisa membawa manfaat buat banyak orang. Saya juga mikir, gimana yaa supaya semua aspirasi bisa diwadahi dengan baik (win-win solution). Semua sama-sama punya pertimbangan masing-masing. Sebagai masyarakat awam, saya hanya bisa memberi masukan mumpung Full Day School ini masih berupa wacana dan masih dikaji.

Win-win solution yang ditawarkan.

Kemarin-kemarin saya sempat berdiskusi dengan bapa, kebetulan bapa seorang kepala sekolah dasar. Apabila Full Day School ini mau diterapkan, ada beberapa hal yang harus disiapkan seperti:

Satu, kecukupan tenaga pengajar dan pembekalan untuk tenaga pengajar. Jangan sampai sistem sudah diketok palu, tetapi pengajar baru dibekali. Guru adalah ujung tombak dari pelaksanaan sistem ini, jadi jangan sampai saat dilapangan nanti ada kebingungan dan gagap dalam menjalankan sistem ini.

Dua, Pembekalan terhada pengawas, dilakukan lebih dulu dibandingkan dengan pembekalan terhadap guru. Jangan sampai pengawas yang akan memantau dan mengevaluasi Full Day School disetiap lembaga sekolah, justru pembekalannya dilakukan bersamaan dengan para guru. Sejatinya pengawas harus lebih dulu tau, lebih cakap karena mereka yang akan mengevaluasi keefektifan sistem ini. Pengawas disini adalah dinas pendidikan kecamatan setempat. 

Tiga, alangkah baiknya sebelum sistem ini diterapkan, kurikulum sudah matang, buku-buku yang dibutuhkan sudah tersedia dengan lengkap. Mengambil pelajaran dari penerapan kurikulum tiga belas (kurtilas), sistem sudah berjalan, buku baru datang. Akhirnya para pengajar masih mengira-ngira dan berjalan sesuai penafsiran lembaga masing-masing

Empat, manajemen pengelolaan kegiatan sehari-hari juga harus tertata dengan rapih. 

Lima, pemerintah juga harus menyediakan infrastruktur, sarana prasarana yang dibutuhkan untuk melayani kebutuhan anak selama hampir 12 jam seperti tempat istirahat, kamar mandi, tempat makan anak, sarana dan prasarana untuk kegiatan ekstrakulikuler.

Enam, Pemerintah memberikan ruang bagi para orang tua untuk ikut serta dalam memberikan masukan, terutama terkait materi pengembangan diri dan kreativitas yang akan diadakan di sekolah. Sistemnya bisa dengan tiap lembaga sekolah mengundang orang tua siswa bersangkutan. Hal ini tentu untuk menampung aspirasi dari orang tua, khususnya mereka yang sejak awal sudah memiliki desain khusus untuk pengembangan karakter anaknya.
Mari Kita Cari Jalan Tengahnya
Tapi menurut saya, pada akhirnya mau Full Day School atau tidak, tetap harus ada sinergisitas peran antara orang tua dan guru di sekolah. Sebagai contoh, saya kemarin sempat berdiskusi dengan guru spiritual saya, beliau seorang guru SD. Beliau bilang kalau pas di sekolah anak-anak dibiasakan untuk tertib sholat berjama’ah. Buku evaluasi sholatnya juga kalau hari sekolah bagus. Eh giliran hari libur, sholatnya juga libur. Buku evaluasinya juga bolong-bolong. Sedisiplin apapun pembiasaan yang baik itu dilakukan disekolah, kalau dirumahnya tidak dibiasakan maka non sense bisa jalan. 

Begitupun dengan pembentukan karakter anak, kalau disekolah jalan tapi dirumah tidak, maka tak akan ada artinya. Harapannya jika Full Day School akhirnya diterapkan pun, peran orang tua sebagai pendidik utama tetap berjalan. Jangan pernah berfikir “ah tenang anakku seharian di sekolah, aman”. Karena sejatinya peran orang tua tidak hanya mencari nafkah saja, tapi yang utama adalah mendidik anak. Apalagi ditengah era digital sekarang, dimana internet sangat mudah untuk diakses. Bisa saja kan raga anak di sekolah, tapi fikirannya? Nah disinilah peran orang tua untuk tetap aware dalam segala hal.

Sebagai referensi, sebagai bekal untuk orang tua, disekolah SD swasta diadakan Sekolah Parenting. Sekolah ini dilakukan dua minggu sekali saat weekend. Ini merupakan sebuah terobosan yang bagus menurut saya. Karena ujung tombak pendidikan bukan hanya terletak pada guru tetapi juga pada orang tua. Sekolah untuk para guru ada. Sekolah untuk menjadi orang tua? seharusnya juga ada. Saya beberapa kali mengikuti seminar dan kajian parenting di tempat yang berbeda, dan saya merasa tercerahkan dan tersadarkan dengan kegiatan ini. Banyak hal yang dipelajari, mulai dari bagaimana menjadi orang tua yang baik sampai belajar psikologi anak dan pasangan.

Sejatinya, yang butuh didikan bukan hanya anak, bukan hanya guru tetapi juga orang tua.
Tuntutlah Ilmu Sejak Dalam Buaian Hingga Liang Lahat 

Wassalamu’alaikum..

Sumber:
Chamidah, S.N. 2016. Bersiap Untuk Full Day School. Suara Merdeka. (diakses tanggal 4 November 2016).

Kuswandi, Iwan. 2013. Full Day School dan Pendidikan Terpadu. http://iwankuswandi.wordpress.com/full-day-school-dan-pendidikan-terpadu/. (diakses tanggal 6 November 2016).




Tulisan Ini Diikutsertakan Dalam Lomba Blog "Memotret Pembangunan Indonesia"






25 comments for "Melihat Wacana Full Day School dari Dua Kacamata yang Berbeda"

  1. Wahh dah tayang aja.
    Klo mba icha mah mesti nulisnya ribuan kata deh. Keren
    Goodluck mba

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih belajar mba, asal ngomong ini mah..hihi
      Aamiin mba

      Delete
  2. Salam siang dari Lombok mb Icha.
    Di Lombok, sejarah kependidikan full day sebenarnya sudah lama diterapkan.
    Mungkin mirip dengan di Jawa, pesantren di mana para santrinya mondok dan berbagai jenis ilmu pengetahuan diajarkan serta dipraktekkan sejak subuh sampai menjelang tidur.
    Bagaimanapun, saya sungguh menyetujui sikap 'peran orang tua dan keluarga dirumah' tetap terpenting, terlepas konsep apapun yang ditempuh anak-anak kita di institusi pendidikannya.

    Semoga ulasan bernasnya menang mbaksay Icha..Aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa mba, memang tiap pemda beda beda mba. Tapi memang yang negeri masih jarang yang nerapin mba. Tapi memang yg paling penting adalah kontrol dari pihak keluarga yaa mba
      Aamiin, matursuwun mba muslifa :)

      Delete
  3. Overall ide full day school ni oke si menurutku.anakku jg sejak TK udh full day school tp emang belum bisa diterapkan diseluruh indonesia. Di kota besar si oke tp di tmp terpencil atau desa yg banyak anak2 plg skolah bantu ortunya di ladang ato kerja lainnya pasti memberatkan. Belum lg apt kata mbak td infrastruktur n sdm nya blm smua siap. Mending kualaitas pendidikan kurikulum n gurunya dulu diperbaiki baru deh pelan2 mengarah ke full day school

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa mba, harusnya disesuaikan dengan kondisi daerah masing masing yaa mba

      Delete
  4. Saya tidak begitu setuju dg full day school karena sscara tidak langsung menghambat sosialisasi anak2 dg lingkungan terdekat.

    Memang selalu ada pro kontra ya mbak, yang penting bisa disikapi dengan dewasa inshaa Allah ada solusinya yaa..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mba Anjar termasuk yg kontra yaa, hihi
      Iyaa mba apapun nnt hasil nya kita ambil yg positif nya dan berupaya menutupi kekurangan yg ada

      Delete
  5. Kalau saya karena pernah jadi guru full day school tidak efektif dan efisien, karena belajar itu bagusnya dan murid bisa menyerapnya jam 7 pe jam 12 siang aja, setelah istirahat aja murid sudah lelah, dan belajar itu banyak hal, perlu sosialisasi dengan temannya, jangan sampai generasi muda jadi generasi hanya teori banyak menghafal dan kurang edukasi lainnya seperti empati dan simpati terhadap sesama, kasian hidup kan gak hanya pendidikan sekolah dan eksak, tetapi ahlak dan modal juga penting

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener juga mba,ini masih d kaji dan lg d cari formula yg tepat mba

      Delete
  6. kalo menurut say ya mba full day memang memiliki beberapa manfaat yang baik, tetapi akankah waktu istrahat anak akan tergangu ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mba bener, semoga anak anak tidak dibebani PR lg ya mba saat di rumah

      Delete
  7. Pendidikan Indonesia masih harus banyak berbenah. Sistemnya masih kacau apalagi biayanya (biayanya mengacaukan isi dompet ortunya)

    ReplyDelete
    Replies
    1. bener mba, indonesia masih berbenah banyak hal yaa

      Delete
  8. Aku sebagai guru nih ya kutang sepakat dengan full day, Indonesia belum siap. Aku pun belum siap kalau ninggalin Kak Ghifa seharian. Wkwkwkw

    Soal win win solution. Sepakat! Karena kebanyakan kalau ada program baru yang ada pembekalan utk guru dan pengawas baru dilaksanakan setelah ketok palu. wkwwkkwwk kan lucu. Meraba-raba. Hasilnya nggak maksimal. Kalau sudah seperti ini? Dana yg dikeluarkan negara banyak, guru juga mengorbankan tenaga waktu.
    Ah, malah esmosi aku. Wkwkwkwk *tarik napas*
    Sedih ah kalau ngomongin pendidikan di negeri ini.
    Kalau Pak Menteri baca tulisan Mbak Icha, yo Pak, ini lho guru muda banyak yang mau berjuang tapi kurang perhatian.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh ada bu guru, pakarnya ni lho bu ika :)

      Cup cup semoga nasib guru kedepannya lebih baik yaa mba. Aamiin

      Delete
  9. Aku kok nggak sreg dg full day school ya mbk. Berkreasi dan berilmu kan nggak harus dg cara spt itu. Kehidupan adl sekolah yg sesungguhnya #hallah. Beda dg pesantren.hehe.. nenurutku sih mbk :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. He..he iya mba wahyu, setiap orang punya pertimbangan masing masing yaa mba..he..he

      Delete
  10. ada 500 sekolah yang akan dilibatkan dalam uji coba (Chamidah, 2016)

    siap siap ada kelinci percobaan..

    ReplyDelete
  11. untung dulu aku aku sekolah banyak mainnya ehhhh...

    ReplyDelete
  12. kalau aku dari SD sampai SMA emang udah full day mbak. Yap setuju mbak, mau full day school atau gak, peran orang tua dan guru harus sinergis.

    ReplyDelete
  13. Setiap kebijakan pasti ada plus-minus nya ya..
    Kalau melihat kondisi di Indonesia saat ini sepertinya blm bs disamaratakan. Win2 solution-nya betul sekali.
    Dan idealnya adalah full day home school dari ibu dan ayah 😊😊

    ReplyDelete